Thursday 17 December 2015

Scenario

“pernah menolak seseorang?”
“tidak. Aku belum pernah menyatakannya.”
“kenapa?. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan ketika dia menolakmu.”
“dia? siapa?”
“dia yang mencuri hatimu.”
“apa yang kamu inginkan?”
“katakan perasaanmu padanya”
“kamu suka aku?”
“bukan padaku. Tapi padanya.”
Hening. Beberapa waktu membeku.
“apa yang dia katakan?”
“aku menunggu jawabanmu”
Aku.. mengapa aku kalang kabut. Terbawa suasana yang aku inginkan tapi belum kubutuhkan. Aku belum ingin mengikuti kata hatiku. Pikiran ini kelut, bahkan jantung ini juga berpacu amat cepat. Tidak! Aku harus bangun, melihat dunia nyata.
“katakan saja”
“aku sayang kamu. Kenapa? Karna aku nyaman sama kamu”
Ini yang aku inginkan. Tapi, kenapa begitu menyesakan. Apa kau disana tidak cemas dengan apa yang barusan kau katakan?. Cukup.
“aku juga suka kamu, tapi kita sahabatan aja yaa”
“kata – kata mu ini rasanya nyesek didadaku.”
Bukan hanya kmu, akupun merasakannya. Aku mau yang tulus. Bukan ini. Kelu. Jujur inginku. Bukan ini. Tapi ini yang harus dikatakan. Bergelut dengan ego, berteriak dalam hati apa guna kau sudah tuli. Bisakah kita realistis?. Realitanya aku benar mendambakanmu, selama aku terjaga selalu menunggumu hingga aku jumpai kamu dalam tidurku.
“dev?”
“hmm?”
“kenapa bengong?”
“enggak apa-apa kok Di”
Aku tersenyum, dia juga. Dio, mengembalikanku dari dunia maya. Waiter berkemeja putih dan celemek hitam menuju meja kami dengan dua cup coffee diatas tray menuju kearah kami. Dio menengok kearah waiter itu. Tak lama sampai di meja dua cup coffe panas.
“malam ini special Americano coffee buat kamu”
Dia mengatakannya sembari mengangkat cup coffee nya dan tersenyum hangat kearahku sebelum menyruput kopi panas. Aku juga sama.
“Deva?”
“ya?”
“bisakah kita berkhir sampai disini?”
“kenapa? Apa kau bosan”
“tidak, hanya saja..”
“apa kau lelah?”
“tidak juga. Sepertinya hujan sudah berhenti”
Aku menengok kearah luar.
“kau mengalihkan pembicaraan”
“jika sudah selesai minum, aku antar kamu pulang.”
“aku masih ingin duduk disini”
“tidakkah kau lihat di cafe ini hanya tinggal kita berdua”
Aku menengok kesekeliling. Memang hanya tinggal kami. Dan aku masih ingin tinggal. Dio berdiri, menggenggam tanganku agar aku mau pergi bersamanya. Aku tersenyum mengiyakan. Kulepas genggamannya, dan berjalan lebih dulu.
“tunggu dev”
Aku menengok kerahnya.
“ini naskah scenarionya ketinggalan”.